Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945
Oleh: Dadan Wildan
Suasana Sebelum Proklamasi
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan
serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi
Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo
(1978:85-87) sebagai berikut: "... Sekarang Bung,
sekarang…! malam ini juga kita kobarkan revolusi…! kata Chaerul
Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata
sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang..."
“Kita harus segera merebut kekuasaan ! tukas Sukarni berapi-api. Kami sudah
siap mempertaruhkan jiwa kami... ! seru mereka bersahutan. Wikana malah berani
mengancam Soekarno dengan pernyataan; ... Jika Bung Karno tidak mengeluarkan
pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu
pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri
menuju Wikana sambil berkata: Ini batang leherku, seretlah saya ke
pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok
hari !.
Hatta kemudian memperingatkan Wikana; Jepang adalah masa silam. Kita
sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan
di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya
katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk
memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan
kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal
itu?
Namun, para pemuda terus mendesak; Apakah kita harus menunggu hingga
kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang
sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam Perang Sucinya !.
Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya? Mengapa
bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa?.
Dengan lirih, setelah amarahnya mereda, Soekarno berkata; kekuatan
yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan
kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada
saya?Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu? Apa tindakan bagian
keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak? Bagaimana cara
mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan? Kita tidak akan
mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita
akan tegak di atas kekuatan sendiri . Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula.
Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia
tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh
lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh
yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa
Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro.
Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda
tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan
timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para
pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang
menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud
menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Rengasdengklok, 16 Agustus 1945
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh
sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi penculikan itu sangat
mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60).
Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau
mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu
sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung
Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda
untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan
Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para
pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara
anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta
telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di
samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari
Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap
setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang
dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para
pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan
terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil.
Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya
ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni
dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan
proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di
Jakarta .
Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap
berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di
sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengahpersawahan Rengas
dengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; Revolusi berada di tangan
kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam
ini, lalu.... Lalu apa ? teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya,
dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang
bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah
ia mulai berbicara; Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi
adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan
seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17.
Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau
tanggal 16 ? tanya Sukarni. Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya
tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih
memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa
itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita
sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa,
ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat,
hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Quran
diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu
kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia .
Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di
Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua
dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang
harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk
menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan
itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo
bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput
Soekarno dan Hatta.
Penyusunan Naskah Proklamasi
Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad
Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada
tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu,
komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan
Hatta kembali ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro, ed.
1984:82-83). Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul
23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1,
setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah
Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap
Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan
tokoh-tokoh lainnya.
De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61) melukiskan sikap Maeda seperti
ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia
itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat
Indonesia. Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih
banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai
pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak
sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat
yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia; kantor pembelian Angkatan
Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas
militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan suasana di
Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama
yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo.
Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak sedikit
baginya, ia mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa
lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat.
Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi
nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka,
diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin
yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia
berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa
keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada
Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh
nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan
bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani
Laksamana Maeda menemui Somobuco (kepala pemerintahan umum), Mayor Jenderal
Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan
menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak
diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk
kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi jakan itu,
Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka
pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat kenyataan ini,
Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk
membicara-kan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya berharap
agar pihak Jepang tidak menghalang-halangi pelaksanaan proklamasi
kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana
Maeda.
Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi
kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya
di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang
kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan
Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi.
Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun
dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka. Menurut Soebardjo
(1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam,
rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno
menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad
Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan.
Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang
diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat
terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat
pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk
menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan
mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka
dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu. Setelah
kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks
Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang
berkumpul di ruangan itu.
Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno
mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang
masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika
itu: Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan
untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah
disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar
tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apaapa, ketika meninggalkan
Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis
untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima
kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di
bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan.
Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan.
Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno
menghadap para hadirin .
Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat
Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah
kata. Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat
pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap
dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa
saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus
dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing.
Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama
menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran itu
diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada Declaration of
Independence Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda
yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang
disebutnya budak-budak Jepang turut menandatangani naskah proklamasi.
Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua
orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia
. Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin. Naskah yang sudah
diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta.
Persoalan timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan
kepada rakyat di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh
pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan?
Menurut Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat
Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondongbondong ke
lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi
Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. Tidak ,
kata Soekarno, lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya
di Pegangsaan
Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan
orang. Untuk apa kita harus memancingmancing insiden ? Lapangan
IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan
penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu
bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan
membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta
saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00
pagi . Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945
Detik-Detik Proklamasi Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00
pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih
menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar
dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks
Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan
Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada
para pemuda yang bekerja pada pers dan kantorkantor berita, untuk
memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta,
1970:53).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan
Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr.
Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan
beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk
mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak
ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi
yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di
belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa
langkah saja dari teras rumah.
Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati
Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena
kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak
disiapkan untuk bendera. Sementara itu, rakyat yang telah
mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul.
Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang
berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya
pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga
dimulai.
Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus
menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks
Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah
menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi
suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda
yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks
Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa
kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta
datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno.
Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat
tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih.
Kemudian keduanya menuju tempat upacara. Marwati Djoened Poesponegoro
(1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu.
Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief
Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi abaaba
kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri.
Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian
mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah
mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato
pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk
menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh
tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air
kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai
kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke
arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai
kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya
saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita
menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan
nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa
yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat
berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah
dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan
itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya
untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan
ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa
Indonesia Soekarno/Hatta. Demikianlah saudara-saudara! Kita
sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah
air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun
Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia
merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.
(Koesnodiprojo, 1951).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan
Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka,
lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk
mengibarkan bendera, dia menolak: lebih baik seorang prajurit , katanya.
Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna
hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera
dari atas baki yang telah disediakan dan
mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief
Hendraningrat. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa
ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama
lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan
dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi
(1984:77) mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah
kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman
rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S.
Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi.
Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia
keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa
Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar
keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno
memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi.
Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota
Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung
Karno. Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah
Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan
menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat
menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai
mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk,
sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara
utusan Jepang dengan Bung Karno: Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang
kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi . Proklamasi sudah
saya ucapkan, jawab Bung Karno dengan tenang. Sudahkah ? tanya
utusan Jepang itu keheranan. Ya, sudah ! jawab Bung Karno. Di
sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan
mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti
itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit.
Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan
kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN
untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang
plat filmnya tinggal tiga lembar (saat itu belum ada rol film). Sehingga dari
seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada tiga; yakni
sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran
bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa itu.
Peristiwa besar bersejarah yang telah mengubah jalan sejarah
bangsa Indonesia itu berlangsung hanya satu jam, dengan penuh kehidmatan.
Sekalipun sangat sederhana, namun ia telah membawa perubahan yang
luar biasa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . Gema lonceng
kemerdekaan terdengar ke seluruh pelosok Nusantara dan menyebar ke
seantero dunia.
Para pemuda, mahasiswa, serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia
pada jawatan-jawatan perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan isi
proklamasi itu ke seluruh pelosok negeri. Para wartawan Indonesia yang
bekerja pada kantor berita Jepang Domei , sekalipun telah disegel oleh
pemerintah Jepang, mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke
seluruh dunia.
Dirgahayu Indonesiaku!
Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Negarawan tahun 2006.